Berbagai kesibukan dan pekerjaan yang
dilakukan manusia demi mendapatkan makanan dan pakaian telah membuat
mereka lupa akan diri mereka sendiri,
tujuan utama kehidupan mereka dan tempat kembali mereka (akhirat),
hingga akhirnya mereka mendapatkan penyesalan. Akal mereka pun lemah
untuk sampai kepada ma`rifatullah. Semua itu disebabkan oleh
kesibukannya memburu dunia.
Oleh karena itu golongan seperti ini dibagi menjadi beberapa kelompok :
1. Golongan yang didominasi oleh kebodohan dan kelalaian, sehingga mata mereka tidak terbuka untuk merenungkan akibat dari perbuatan mereka. Terbukti dengan perkataan mereka sendiri, “Tujuan utama kita dalam kehidupan yang hanya sebentar ini adalah berusaha keras untuk mendapatkan makanan. Setelah didapati kita makan hingga mendapat kekuatan untuk bekerja. Setelah mampu bekerja berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan makanan.” Perkataan ini menunjukkan bahwa tujuan hidup mereka adalah makan agar bisa bekerja kemudian mereka bekerja agar dapat makan. Ini adalah aliran orang yang tidak punya kenikmatan dan tidak punya pijakan agama. Mereka letih disiang hari untuk makan dimalam hari dan makan dimalam hari untuk bersusah payah disiang hari. Orang seperti ini bagaikan unta yang berjalan dipadang pasir yang mencari air dan rumput-rumputan agar dapat meneruskan perjalanannya hingga akhirnya mati ditengah padang pasir dalam keadaan lapar.
2. Golongan yang mengira bahwa tujuan utama manusia bukanlah bersusah payah untuk bekerja. Kebahagiaan itu terletak pada pelampiasan syahwat dunia yaitu syahwat perut dan kemaluan. Mereka menghabiskan waktu untuk mengejar wanita dan mengumpulkan berbagai makanan yang lezat. Mereka makan seperti binatang makan, mererka berhubungan badan seperti binatang berhubungan badan, dan mereka mengira apabila telah mendapatkan hal tersebut (makan dan berhubungan badan) berarti telah mencapai puncak kebahagiaan, hingga akhirnya mereka melupakan Allah dan hari akhirat.
3. Golongan yang mengira bahwa kebahagiaan terletak pada banyaknya harta dan simpanan kekayaan, sehingga mereka bersusah payah mengumpulkannya siang dan malam. Mereka melakukan perjalanan sepanjang siang dan malam hingga kelelahan, mondar-mandir melakukan berbagai pekerjaan berat hingga kesampaian, berusaha dan mengumpulkan kekayaan hingga mereka sendiri tidak memakannya kecuali sekedarnya saja. Hal itu karena mereka kikir dan takut hartanya berkurang. Mereka hanya menikmati dan mengumpulkan harta dan melihat hartanya yang berlimpah, walaupun mereka tidak sempat menikmatinya. Ketika mereka meninggal dunia, hartanya tetap tertimbun dibawah tanah (atau bank-pen) atau ditemukan oleh orang lain (atau jadi rebutan ahli waris-pen) yang memakannya dengan penuh syahwat dan kelezatan dan ia hanya mendapatkan keletihan. Lalu orang-orang yang sepertinya hanya menyaksikan dan memberikan belas kasihan tanpa dapat mengambil pelajaran dari kematian kawannya.
4. Golongan yang mengira bahwa kebahagiaan terletak pada nama baik, pujian dan penghormatan. Mereka rela mengurangi makanan dan minuman hanya untuk dapat membeli pakaian yang bagus dan kendaraan yang mewah. Mereka menghiasi pintu-pintu rumah dan sudut-sudut ruangan yang menjadi perhatian pandangan manusia agar dikatakan sebagai orang kaya. Memiliki harta banyak. Mereka mengira bahwa hal itu merupakan kebahagiaan. Perhatian utama mereka siang-malam adalah mendapatkan perhatian manusia.
5. Golongan yang mengira bahwa kebahagiaan terletak pada kedudukan dan kehormatan dikalangan manusia atau ketundukan manusia dan penghargaan mereka terhadap dirinya. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan simpati dari manusia. Mereka mengira dengan menjadi pemimpin akan membawa dirinya dihormati dan dipatuhi. Saat itulah puncak kebahagiaan yang dirasakan. Ini merupakan tipu daya syahwat yang sangat besar atas orang-orang yang lalai kepada Allah. Mereka menyibukkan diri agar orang lain tunduk kepadanya dan bukan berusaha agar ia tunduk kepada Allah dan taat beribadah kepada-Nya.
Apabila seseorang tidak rakus akan kehidupan dunia atau mengambil bagian dunia sekedar keperluannya sahaja (taqliil), maka ia akan terhindar dari tipu daya dunia dan akan banyak mengikat kehidupan akhirat (zikrul akhirat) dan perhatiaannya tercurah kepada persiapan menghadapi kehidupan akhirat. Akan tetapi apabila ia rakus terhadap kehidupan dunia, apa yang diperoleh melampaui batas keperluannya. Ia akan banyak mendapat kesibukan duniawi, dan satu urusan akan melahirkan urusan yang lain hingga akhirnya ia tidak ada waktu dan kemampuan untuk mengingat Allah.
Oleh karena itu golongan seperti ini dibagi menjadi beberapa kelompok :
1. Golongan yang didominasi oleh kebodohan dan kelalaian, sehingga mata mereka tidak terbuka untuk merenungkan akibat dari perbuatan mereka. Terbukti dengan perkataan mereka sendiri, “Tujuan utama kita dalam kehidupan yang hanya sebentar ini adalah berusaha keras untuk mendapatkan makanan. Setelah didapati kita makan hingga mendapat kekuatan untuk bekerja. Setelah mampu bekerja berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan makanan.” Perkataan ini menunjukkan bahwa tujuan hidup mereka adalah makan agar bisa bekerja kemudian mereka bekerja agar dapat makan. Ini adalah aliran orang yang tidak punya kenikmatan dan tidak punya pijakan agama. Mereka letih disiang hari untuk makan dimalam hari dan makan dimalam hari untuk bersusah payah disiang hari. Orang seperti ini bagaikan unta yang berjalan dipadang pasir yang mencari air dan rumput-rumputan agar dapat meneruskan perjalanannya hingga akhirnya mati ditengah padang pasir dalam keadaan lapar.
2. Golongan yang mengira bahwa tujuan utama manusia bukanlah bersusah payah untuk bekerja. Kebahagiaan itu terletak pada pelampiasan syahwat dunia yaitu syahwat perut dan kemaluan. Mereka menghabiskan waktu untuk mengejar wanita dan mengumpulkan berbagai makanan yang lezat. Mereka makan seperti binatang makan, mererka berhubungan badan seperti binatang berhubungan badan, dan mereka mengira apabila telah mendapatkan hal tersebut (makan dan berhubungan badan) berarti telah mencapai puncak kebahagiaan, hingga akhirnya mereka melupakan Allah dan hari akhirat.
3. Golongan yang mengira bahwa kebahagiaan terletak pada banyaknya harta dan simpanan kekayaan, sehingga mereka bersusah payah mengumpulkannya siang dan malam. Mereka melakukan perjalanan sepanjang siang dan malam hingga kelelahan, mondar-mandir melakukan berbagai pekerjaan berat hingga kesampaian, berusaha dan mengumpulkan kekayaan hingga mereka sendiri tidak memakannya kecuali sekedarnya saja. Hal itu karena mereka kikir dan takut hartanya berkurang. Mereka hanya menikmati dan mengumpulkan harta dan melihat hartanya yang berlimpah, walaupun mereka tidak sempat menikmatinya. Ketika mereka meninggal dunia, hartanya tetap tertimbun dibawah tanah (atau bank-pen) atau ditemukan oleh orang lain (atau jadi rebutan ahli waris-pen) yang memakannya dengan penuh syahwat dan kelezatan dan ia hanya mendapatkan keletihan. Lalu orang-orang yang sepertinya hanya menyaksikan dan memberikan belas kasihan tanpa dapat mengambil pelajaran dari kematian kawannya.
4. Golongan yang mengira bahwa kebahagiaan terletak pada nama baik, pujian dan penghormatan. Mereka rela mengurangi makanan dan minuman hanya untuk dapat membeli pakaian yang bagus dan kendaraan yang mewah. Mereka menghiasi pintu-pintu rumah dan sudut-sudut ruangan yang menjadi perhatian pandangan manusia agar dikatakan sebagai orang kaya. Memiliki harta banyak. Mereka mengira bahwa hal itu merupakan kebahagiaan. Perhatian utama mereka siang-malam adalah mendapatkan perhatian manusia.
5. Golongan yang mengira bahwa kebahagiaan terletak pada kedudukan dan kehormatan dikalangan manusia atau ketundukan manusia dan penghargaan mereka terhadap dirinya. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan simpati dari manusia. Mereka mengira dengan menjadi pemimpin akan membawa dirinya dihormati dan dipatuhi. Saat itulah puncak kebahagiaan yang dirasakan. Ini merupakan tipu daya syahwat yang sangat besar atas orang-orang yang lalai kepada Allah. Mereka menyibukkan diri agar orang lain tunduk kepadanya dan bukan berusaha agar ia tunduk kepada Allah dan taat beribadah kepada-Nya.
Apabila seseorang tidak rakus akan kehidupan dunia atau mengambil bagian dunia sekedar keperluannya sahaja (taqliil), maka ia akan terhindar dari tipu daya dunia dan akan banyak mengikat kehidupan akhirat (zikrul akhirat) dan perhatiaannya tercurah kepada persiapan menghadapi kehidupan akhirat. Akan tetapi apabila ia rakus terhadap kehidupan dunia, apa yang diperoleh melampaui batas keperluannya. Ia akan banyak mendapat kesibukan duniawi, dan satu urusan akan melahirkan urusan yang lain hingga akhirnya ia tidak ada waktu dan kemampuan untuk mengingat Allah.